Rabu, 29 Oktober 2008

MAKNA KEBERKAHAN


Agar Rizki Mendapat Keberkahan : Dua Syarat Meraih Keberkahan
Diterbitkan oleh Abdul Lathif pada 20/Oct/2008 (162 dibaca)
AGAR RIZKI MENDAPAT KEBERKAHAN

Oleh
Ustadz Muhammad Arifin Badri


MAKNA KEBERKAHAN

Betapa sering kita mengucapkan, mendengar, mendambakan dan berdo’a untuk mendapatkan keberkahan, baik dalam umur, keluarga, usaha, maupun dalam harta benda dan lain-lain. Akan tetapi, pernahkah kita bertanya, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan keberkahan itu? Dan bagaimana untuk memperolehnya?

Apakah keberkahan itu hanya terwujud jamuan makanan yang kita bawa pulang saat kenduri? Atau apakah keberkahan itu hanya milik para kiyai, tukang ramal, atau para juru kunci kuburan, sehingga bila salah seorang memiliki suatu hajatan, ia datang kepada mereka untuk “ngalap berkah”, agar cita-citanya tercapai?

Bila kita pelajari dengan sebenarnya, baik melalui ilmu bahasa Arab maupun melalui dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan Sunnah, kita akan mendapatkan bahwa kata al-barakah memiliki kandungan dan pemahaman yang sangat luas dan agung. Secara ilmu bahasa, al-barakah, berarti berkembang, bertambah dan kebahagian [1]. Imam An-Nawawi rahimahullah berkata : “Asal makna keberkahan, ialah kebaikan yang banyak dan abadi” [2]

DAHULU, SABA MERUPAKAN NEGERI PENUH BERKAH

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang negeri mereka.

“(Negerimu adalah) negeri yang baik dan (Rabbmu) adalah Rabb Yang Maha Pengampun” [Saba : 15]

Ayat diatas berbicara tentang negeri Saba’ sebelum mengalami kehancuran lantaran kekufuran mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan kisah bangsa Saba’, suatu negeri yang tatkala penduduknya beriman dan beramal shalih, maka mereka dilingkupi dengan keberkahan. Sampai-sampai ulama ahli tafsir mengisahkan, kaum wanita Saba’ tidak perlu bersusah-payah memanen buah-buahan di kebun mereka. Untuk mengambil hasil buahnya, cukup menaruh keranjang di atas kepala, lalu melintas di kebun, maka buah-buahan yang telah masak akan berjatuhan memenuhi keranjangnya, tanpa harus memetik atau mendatangkan pekerja untuk memanennya.

Sebagian ulama lain juga menyebutkan, dahulu di negeri Saba’ tidak ada lalat, nyamuk, kutu, atau serangga lainnya. Kondisi demikian itu lantaran udaranya yang bagus, cuacanya bersih, dan berkat rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang senantiasa meliputi mereka. [3]

Kisah keberkahan yang menakjubkan pada zaman keemasan umat Islam juga pernah diungkapkan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah :”Sungguh, biji-bijian dahulu, baik gandum maupun yang lainnya lebih besar dibanding dengan yang ada sekarang, sebagaimana keberkahan yang ada padanya (biji-bijian kala itu, pent) lebih banyak. Imam Ahmad rahimahullah telah meriwayatkan melalui jalur sanadnya, bahwa telah ditemukan di gudang sebagian kekhilafahan Bani Umawi sekantung gandum yang biji-bijinya sebesar biji kurma, dan bertuliskan pada kantung luarnya :”Ini adalah gandum hasil panen pada masa keadilan ditegakkan” [4]

Bila demikian, tentu masing-masing kita mendambakan untuk mendapatkan keberkahan dalam pekerjaan, penghasilan dan harta. Sehingga kita bertanya-tanya, bagaimanakah cara agar usaha, penghasilan dan harta saya diberkahi Allah?

DUA SYARAT MERAIH KEBERKAHAN

Untuk memperoleh keberkahan dalam hidup secara umum dan dalam penghasilan secara khusus, terdapat dua syarat yang mesti dipenuhi.

Pertama. Iman Kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Inilah syarat pertama dan terpenting agar rizki kita diberkahi Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu dengan merealisasikan keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Andaikata penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi. Tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” [Al-A’raf : 96]

Demikian, balasan Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya yang beriman, dan sekaligus menjadi penjelas bahwa orang yang kufur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, niscaya tidak akan pernah merasakan keberkahan dalam hidup.

Di antara perwujudan iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berkaitan dengan penghasilan, ialah senantiasa yakin dan menyadari bahwa rizki apapun yang kita peroleh merupakan karunia dan kemurahan Allah Subhanahu wa Ta’ala , bukan semata-mata jerih payah atau kepandaian kita. Yang demikian itu, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menentukan kadar rizki setiap manusia semenjak ia masih berada dalam kandungan ibunya.

Bila kita pikirkan diri dan negeri kita, niscaya kita bisa membukukan buktinya. Setiap kali kita mendapatkan suatu keberkahan, maka kita lupa daratan, dan merasa keberhasilan itu karena kehebatan kita. Dan sebaliknya, setiap terjadi kegagalan atau bencana, maka kita menuduh alam sebagai penyebabnya, dan melupakan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Bila demikian, maka mana mungkin Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberkahi kehidupan kita? Bukankah pola pikir semacam ini yang telah menyebabkan Qarun mendapatkan adzab dengan ditelan bumi? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Qarun berkata : “Sesunguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku”. Dan apakah ia tidak mengetahui bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya dan lebih banyak harta kumpulannya ..” [Al-Qashah : 78]

Perwujudan bentuk yang lain dalam hal keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala berkaitan dengan rizki, yaitu kita senantiasa menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika hendak menggunakan salah satu kenikmatan-Nya, misalnya ketika makan.

“Dari Sahabat Aisyah Radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu saat sedang makan bersama enam orang sahabatnya, tiba-tiba datang seorang Arab badui, lalu menyantap makanan beliau dalam dua kali suapan (saja). Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ketahuilah seandainya ia menyebut nama Allah (membaca Bismillah, pent), niscaya makanan itu akan mencukupi kalian”. [HR Ahmad, An-Nasa-i dan Ibnu Hibban]

Pada hadits lain, Nab Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Ketahuilah bahwasanya salah seorang dari kamu bila hendak menggauli istrinya ia berkata : “Dengan menyebut nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari anak yang Engkau karuniakan kepada kami”, kemudian mereka berdua dikaruniai anak (hasil dari hubungan tersebut, pent) niscaya anak itu tidak akan diganggu setan” [HR Al-Bukhari]

Demikian, sekilas penjelasan peranan iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang terwujud pada menyebut nama-Nya ketika hendak menggunakan suatu kenikmatan, sehingga mendatangkan keberkahan pada harta dan anak keturunan.

Kedua : Amal Shalih

Yang dimaksud dengan amal shalih, ialah menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya sesuai dengan syari’at yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah hakikat ketakwaan yang menjadi syarat datangnya keberkahan sebagaimana ditegaskan pada surat Al-A’raf ayat 96 diatas.

Tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan tentang Ahlul Kitab yang hidup pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Dan sekiranya mereka benar-benar menjalankan Taurat, Injil dan (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada mereka, niscaya mereka akan mendapatkan makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka” [Al-Ma’idah : 66]

Para ulama tafsir menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan “mendapatkan makanan dari atas dan dari bawah kaki”, ialah Allah Subhanahu wa Ta’ala akan meielimpahkan kepada mereka rizki yang sangat banyak dari langit dan dari bumi, sehingga mereka akan mendapatkan kecukupan dan berbagai kebaikan, tanpa susah payah, letih, lesu, dan tanpa adanya tantangan atau berbagai hal yang mengganggu ketentraman hidup mereka [5]

Di antara contoh nyata keberkahan harta orang yang beramal shalih, ialah kisah Khidir dan Nabi Musa bersama dua orang anak kecil. Pada kisah tersebut, Khidir menegakkan tembok pagar yang hendak roboh guna menjaga agar harta warisan yang dimiliki dua orang anak kecil dan terpendam di bawah pagar tersebut , sehingga tidak nampak dan tidak bisa diambil oleh orang lain.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirmn.

“Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua anak yatim di kota itu, dan dibawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang shalih, maka Rabbmu menghendaki agar mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Rabbmu” [Al-kahfi : 82]

Menurut penjelasan para ulama tafsir, ayah yang dinyatakan dalam ayat ini sebagai ayah yang shalih itu bukan ayah kandung dari kedua anak tersebut. Akan tetapi, orang tua itu ialah kakeknya yang ketujuh, yang semasa hidupnya berprofesi sebagai tukang tenun.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Pada kisah ini terdapat dalil bahwa anak keturunan orang shalih akan dijaga, dan keberkahan amal shalihnya akan meliputi mereka di dunia dan di akhirat. Ia akan memberi syafa’at kepada mereka, dan derajatnya akan diangkat ke tingkatan tertinggi, agar orang tua mereka menjadi senang, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an dan Sunnah’ [6]

Sebaliknya, bila seseorang enggan beramal shalih, atau bahkan malah berbuat kemaksiatan, maka yang ia petik juga kebalikan dari apa yang telah disebutkan di atas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Sesungguhnya seseorang dapat saja tercegah dari rizkinya akibat dari dosa yang ia kerjakan” [HR Ahmad, Ibnu Majah, Al-Hakim dll]

Membusuknya daging dan basinya makanan, sebenarnya menjadi salah satu dampak buruk yang harus ditanggung manusia. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa itu semua terjadi akibat perbuatan dosa umat manusia. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Seandainya kalau bukan karena ulah Bani Israil, niscaya makanan tidak akan pernah basi dan daging tidak akan pernah membusuk” [Muttafaqun ‘alaih]

Para ulama menjelaskan, tatkala Bani Israil diberi rizki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala berupa burung-burung salwa (semacam burung puyuh) yang datang dan dapat mereka tangkap dengan mudah setiap pagi hari, mereka dilarang untuk menyimpan daging-dading burung tersebut. Setiap pagi hari, mereka hanya dibenarkan untuk mengambil daging yang akan mereka makan pada hari tersebut. Akan tetapi, mereka melanggar perintah ini, dan mengambil daging dalam jumlah yang melebihi kebutuhan mereka pada hari tersebut, untuk disimpan. Akibat perbuatan mereka ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menghukum mereka, sehingga daging-daging yang mereka simpan tersebut menjadi busuk. [7]

Demikian, penjelasan dua syarat penting guna meraih keberkahan.

Kedudukan Wali Hakim Dalam Pernikahan

Kedudukan Wali Hakim Dalam Pernikahan

A Nizami
Tue, 10 Oct 2006 03:38:33 -0700

Kedudukan Wali Hakim Dalam Pernikahan

Oleh : H M Asywadie Syukur

Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang berbeda
dengan perjanjian lainnya karena perjanjian perkawinan
memiliki rukun-rukun yang tidak ada pada perjanjian
lainnya, antara lain perjanjian perkawinan baru
dianggap sah apabila adanya izin wali. Wali adalah
orang yang mempunyai wewenang untuk mengawinkan
perempuan yang berada dibawah perwaliannya dimana
tanpa izinnya perkawinan perempuan itu dianggap tidak
sah.

Dalam fikih, dikenal istilah wali nasab, yaitu orang
yang mempunyai hubungan dengan perempuan yang dibawah
perwaliannya, yang urutannya sudah ditentukan dalam
fikih Islam. Apabila wali nasab tidak ada atau dalam
keadaan tertentu, maka kekuasaan wali berpindah kepada
hakim yang dinamakan dengan wali hakim. Pertanyaannya
sekarang, kapan wali hakim boleh tampil sebagai wali
nikah ? dan siapa yang menjadi wali hakim tersebut ?

Wali hakim pertama

Setelah agama Islam berkembang di Mekkah, orang-orang
Quraisy merasakan adanya ancaman terhadap kekuasaan
mereka di Mekkah, karenanya mereka mulai melacarkan
berbagai gangguan dan penghinaan kepada Nabi Muhammad
SAW dan memperhebat siksaan diluar perikemanusiaan
terhadap umat Islam. Nabi SAW kemudian menyuruh umat
Islam berhijrah ke Habsyah pada tahun kelima kenabian.
Berangkatlah rombongan yang pertama yang terdiri dari
sepuluh orang pria dan empat orang wanita, diantaranya
Utsman bin Affan dengan istrinya Rukayyah (puteri
Nabi), Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, dan
Ja’far bin Abu Thalib.

Rombongan yang kedua terdiri dari delapan puluh tiga
pria dan tujuh belas wanita (Hayat Muhammad : 154).
Dalam rombongan kedua ini, ikut serta Ubaidillah bin
Jahasy dengan istrinya Ramlah binti Abi Sofyan.
Setelah beberapa bulan di Habsyah, Ubaidillah bin
Jahasy merubah agamanya menjadi pemeluk agama Nasrani,
namun tidak berapa lama ia meninggal. Istrinya, Ramlah
tinggal di Habsyah tanpa ada yang membiayai, maka
Negus (raja) Habsyah yang sudah memeluk agama Islam
mengirim surat kepada Rasulullah agar bersedia
mengawini Ramlah dengan mahar sebesar 4000 dinar dan
Rasulullah menerimanya. Yang bertindak sebagai wali
nikah Ramlah adalah Negus Habsyah karena Ramlah tidak
mempunyai wali nasab di Habsyah. Baru kemudian, pada
tahun ketujuh hijriah, Surahbil bin Hasanah membawa
Ramlah ke Medinah dan merubah namanya menjadi Ummu
Habibah (Tarikhu al Islam al Siasi I: 90).

Abu Dawud dalam Sunnannya mengabadikan peristiwa ini
dalam tiga buah riwayat yang diterimanya dari Ummu
Habibah. Inilah wali hakim pertama dalam sejarah Islam
yang terjadi di Habsyah. Peristiwa ini terjadi dalam
perkawinan Rasulullah SAW sendiri dengan istrinya yang
bernama Ummu Habibah, yang pada waktu itu menjadi
salah seorang yang berhijrah ke Habsyah untuk
menyelamatkan agamanya.

Kedudukan

Para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan wali
dalam perjanjian perkawinan. Menurut Mazhab Hanafi
perizinan wali bukan merupakan persyaratan syah nikah
tetapi hanya penyempurna perjanjian perkawinan.
Alasannya adalah dari riwayat Muslim dari Ibnu Abbas
yang katanya Rasulullah SAW bersabda yang artinya
"Perempuan yang janda lebih berhak atas dirinya dari
walinya. Gadis diminta perizinannya dan perizinannya
adalah diamnya". Menurut mazhab Hanafi, hadits di atas
menerangkan sah pernikahan baik janda maupun perawan
tanpa disyaratkan adanya perizinan wali, karena itu
mereka menganggap izin wali bukan termasuk syarat sah
nikah.

Mazhab Syafi’i, Maliki dan Hanbali menganggap
perizinan wali merupakan syarat sah perjanjian
perkawinan dimana perkawinan tanpa izin wali adalah
tidak sah. Pendapat ini beralasan pada Al Qur’an dan
hadits. Dari ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil
antara lain pada QS. al Baqarah ayat 232 yang artinya
: "Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis
iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi
mereka kawin lagi dengan bakal suaminya apabila
terdapat kerelaan diantara mereka dengan cara yang
ma’ruf...".

Imam Bukhari meriwayatkan tentang sebab turunnya ayat
di atas ialah karena ulahnya Ma’qal bin Yasar yang
mengawinkan saudarinya dengan seorang lelaki kemudian
diceraikan oleh suaminya. Sesudah masa iddahnya habis,
datang bekas suaminya ingin mengawini kembali, namun
Ma’qal melarang dan bersumpah tidak akan mengawinkan
saudarinya itu dengan bekas suaminya tadi. Turunlah
ayat di atas menegur tindakan Ma’qal yang kedudukannya
sebagai wali dan akhirnya Ma’ qal membayar kafarah
atas sumpahnya.

Di dalam beberapa buah hadits dijelaskan tentang wali
hakim yang dapat menggantikan kedudukan wali nasab
apabila wali nasab tidak ada atau wali nasab enggan
mengawinkan perempuan yang ada dibawah perwaliannya,
padahal perjodohan antara keduanya seimbang.
Rasulullah SAW bersabda yang artinya : "Maka apabila
(wali nasab) enggan sulthanlah yang menjadi wali bagi
yang tidak mempunyai wali" (HR. Abu Daud, Tirmidzi,
Ibnu Majah dan Ahmad dari Aisyah).

Yang dimaksud dengan kata "Sulthan" adalah pejabat
tertinggi dalam negara seperti dalam contoh terdahulu
Negus, selaku kepala negara Habsyah. Karena itulah,
penulis kitab Subulu as Salam berkata : "Yang dimaksud
dengan sulthan adalah mereka yang mempunyai kekuasaan,
baik ia zalim maupun adil karena hadits-hadits yang
memerintahkan mentaati sulthan bersifat umum, mencakup
sulthan yang adil maupun yang zalim" (Subulu as Salam
III : 118).

Penulis ‘Ianatu al Thalibin mengatakan : "Imam Akbar
(kepala negara) tidak menegahnya menjadi wali karena
kefasikannya, sesuai dengan pendapat yang sahih"
(‘Ianatu al Thalibin III : 305). Adapun penulis kitab
An Nikahu wa al Qadhaya al Muta’aliqah bihi
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan sulthan disini
ialah imam akbar (kepala negara) atau hakim atau siapa
saja yang dilimpahkan wewenang oleh keduanya menjadi
wali ketika tidak ada wali khusus/wali nasab (An
Nikahu wa al Qadhaya al Muta’aliqah bihi : 508).

Jadi, orang yang ditunjuk oleh pemerintah adalah wali
hakim bagi orang yang tidak mempunyai wali dan orang
yang tidak ditunjuk oleh pemerintah tidak berhak
menjadi wali hakim.

Tidak ada wali

Dari hadits di atas diungkapkan bahwa wali hakim dapat
tampil sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada
atau wali nasab enggan mengawinkan perempuan yang
berada dibawah perwaliannya. Lebih lanjut, penulis
kitab An Nikahu wa al Qadhaya al Muta’aliqah bihi
menulis bahwa sulthan hanya mengawinkan wanita
balighah dikala tidak ada wali atau walinya enggan
atau walinya berada di tempat lain atau apabila
walinya sendiri yang ingin mengawininya seperti anak
paman wanita itu atau bekas tuannya atau qadhi (An
Nikahu wa al Qadhaya al Muta’aliqah bihi : 503). Pada
bagian lain, ia menulis bahwa sulthan mempunyai hak
untuk mengawinkan apabila wali berada pada jarak jauh
yang membolehkan sembahyang qashar atau apabila wali
dalam keadaan berihram (.An Nikahu wa al Qadhaya al
Muta’aliqah bihi : 504).

Demikianlah, dari beberapa kutipan tadi diketahui
bahwa wali hakim itu ialah pejabat tinggi negara
(kepala negara) atau pejabat yang ditunjuk untuk tugas
itu dari kepala negara atau pejabat yang menerima
pelimpahan tugas itu. Persyaratan yang harus ada pada
wali hakim tidak seperti syarat yang harus ada pada
wali nasab, karena seorang kepala negara yang zalim
masih berhak menjadi wali bagi orang yang tidak
mempunyai wali.

Jadi, keadaan yang dapat memungkinkan wali hakim
sebagai wali nikah adalah wali nasab tidak ada sama
sekali ; wali nasab enggan padahal keduanya sekufu ;
wali nasab berada di tempat yang jauh sekitar 95 Km
dari tempat wanita yang ingin menikah ; wali nasab
dianggap hilang atau tidak diketahui keberadaannya,
hidup atau matinya ; calon suami juga adalah wali
nikah perempuan; wali nasab dalam keadaan berihram
haji atau umrah.

Wali hakim di Indonesia

Yang menjadi wali hakim dalam negara RI adalah
presiden, yang melimpahkan wewenangnya dalam masalah
wali ini kepada Menteri Agama (karena menyangkut
urusan agama) dan Menteri Agama melimpahkannya kepada
aparatnya yang terbawah melalui tauliyah.

Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia ada beberapa
pasal mengenai wali hakim. Dalam pasal 1 sub b
diterangkan : "Wali hakim ialah wali nikah yang
ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk
olehnya, yang diberi hak dan wewenang untuk bertindak
sebagai wali nikah".

Dalam pasal 23 diterangkan: (1) Wali hakim baru dapat
bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak
ada atau tidak mungkin menghadirkannya, atau tidak
diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau
enggan, (2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali
hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah
ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.
Jadi, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia mengikuti
pendapat jumhurul ulama yang mengatakan wali sebagai
syarat sahnya pernikahan, yang apabila tidak ada atau
pada keadaan tertentu, maka wali hakim dapat tampil
sebagai wali nikah.

Minggu, 26 Oktober 2008

Menegakkan Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar

Menegakkan Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar

MediaMuslim.Info - Beramar maruf nahi dan bernahi mungkar adalah satu amalan yang mulia yang diperintahkan Allah Subhanahu wa Taala dalam firman-Nya dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam hadits haditsnya. Allah berfirman dalam surat Ali imran : 104 yang artinya “Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang maruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” Beramar maruf dan bernahi mungkar juga sebagai ciri khas ummat ini, yang mereka sebaik-baik ummat di muka bumi ini. Dan setiap muslim yang bersegera untuk mengamalkan ciri khas ummat ini, ia akan mendapat kemuliaan dan berhak mendapat pujian Allah Subhanahu wa Taala. Tatkala Umar bin Khatab radiyallahu anhu membaca ayat “Kalian adalah ummat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang maruf, dan mencegah yang mungkar” (Ali Imran : 110)

Beliau berkata : “Barang siapa yang ingin menjadi golongan ummat ini, maka hendaklah ia tunaikan syarat yang Allah sebutkan. “Begitu mulia akhlak ini, hingga setiap muslim harus memilikinya. Karena hanya orang-orang kafir dan yang semisal dengan mereka yang tidak mau mengamalkan akhlak ini, akibatnya mereka mendapatkan kemurkaan dan laknat Allah Subhanahu wa Taala. Allah berfirman : “Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain tidak melarang dari kemungkaran yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka lakukan.” (Al-Maidah : 78,79)

Rasulullah shallallahu alihi wa sallam menjelaskan dalam sabda beliau : “Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah ia merubah dengan tangannya. Kalau ia tidak mampu maka dengan lisannya., dan kalau juga tidak mampu maka dengan hatinya, yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim). Hadits ini menunjukan wajibnya beramar maruf dan bernahi mungkar dengan segala daya dan upaya, dan kewajiban ini untuk seluruh kaum muslimin sesuai dengan kadar kemampuan masing-masing.

Namun sebelum seseorang beramar maruf nahi mungkar ia harus berilmu terlebih dahulu. Sebagaimana pernyataan Shaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu Fatawanya (15/337): “Dan Allah Subhanahu wa Taala telah memerintahkan untuk beramar maruf dan bernahi mungkar. Sebelum seseorang memerintahkan orang lain kepada yang maruf, hendaklah ia berilmu terlebih dahulu. Karena orang yang belum berilmu, tentu tidak dapat menyuruh manusia melaksanakannya. Demikian pula sebelum mereka dia melarang orang lain dari yang mungkar, dia juga harus beilmu tentangnya. Karena kalu tidak tentu dia tidak bisa mencegah dari perbuatan yang mungkar.” Ini adalah perkara penting yang harus diperhatikan oleh setiap muslim sebeum beramar maruf dan bernahi mungkar, karena hanya dengan ilmulah mereka dapat beramal dan istiqamah dalam amalnya. Dengan ilmulah bisa dibedakan yang maruf dari yang mungkar.

Selain bekal ilmu, dibutuhkan pula kelembutan dan kesabaran serta sikap yang bijaksana. Karena tanpa ini semua dalam penerapan amar maruf nahi mungkar, niscaya kerusakan yang lebih besar akan timbul dan berkembang di ummat ini. Cobalah dengar firman Allah Subhanahu wa Taala kepada nabi-Nya : “Dan bersabarlah terhadap yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik.” (An-Nahl : 10) Dan Firman-Nya : “Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah, serta janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipudayakan.” (An-Nahl : 127)

Demikianlah bekal yang harus dimiliki seseorang sebelum beramar maruf dan nahi mungkar. Di samping itu ia harus pandai-pandai memperhitungkan mashlahat dan madlaratnya, yaitu dengan ketentuan, “Hendaknya perintahmu kepada yang maruf adalah dengan cara yang maruf, sedangkan laranganmu kepada kemungkaran adalah bukan kemungkaran. Jadi apabila amar maruf dan nahi mungkar merupakan kewajiban dan anjuran yang sangat agung, maka kemashlahatannya harus lebih besar daripada madlaratnya….” Demikianlah ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

Ketentuan seperti ini sangatlah penting, karena sekian banyak manusia yang mengamalkan akhlak ini namun tidak di tempuh dengan cara yang benar, sehingga niat mereka memperbaiki dan merubah kemungkaran malah menimbulkan kemugkaran yang lebih besar, dan niat hati mengajak kepada kebaikan malah menjauhkannya. Hal ini terjadi dikarenakan mereka tidak berilmu dengan benar tentang akhlak ini.

Ketahuilah, pengingkaran terhadap kemungkaran ada empat tingkatan:

  • Kemungkaran itu lenyap dan muncul yang maruf.

  • Kemungkaran itu menjadi hilang walaupun tidak hilang seluruhnya.

  • Kemungkaran itu lenyap tetapi digantikan oleh dengan yang seperti itu juga.

  • Kemungkaran itu lenyap, tetapi digantikan dengan yang lebih besar keburukannya.

Dua tingkatan awal disyariatkan untuk diamalkan, dan yang ketiga perlu dipertimbangkan, sedangkan yang keempat haram untuk diamalkan. Demikianlah, akhlak amar maruf nahi mungkar harus berlandaskan ilmu, kesabaran, kelembutan dan kebijaksanaan.

Amalkanlah akhlak ini karena jika ditinggalkan niscaya akan turun adzab Allah Taala dan tidak dikabulkannya doa. Rasulullah shallallahu alihi wasallam bersabda : “Dan demi zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh hendaklah kalian beramar maruf dan nahi mungkar, atau akan dikahawatirkan Allah akan mengirim kepada kalian sebagai adzab sebagai hukuman dari-Nya, kemudian doa kalian tidak dikabulkan-Nya.” (HR. Tirmidzi dan hadits ini derajatnya hasan dengan syawahidnya, dihasankan oleh Syaikh Al-Albanidalam Shahibul Jami 7070 dan Al-Misykat 514). Maka jalanilah akhlak ini, walaupun hanya bisa dengan hati dan itulah selemah-lemah keimanan. Sebaik-baik akhlak adalah akhlak Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Wallahu alam bis shawab.

Indahnya Keadilan


Indahnya Keadilan
Friday, 20 July 2007
Media Center

Allah Swt berfirman: “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Maidah: 8 )

“Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun terhadap kerabat(mu).” (QS. Al An`am: 152)

Pesan berlaku adil itu begitu kental mewarnai Al Qur’an. Bahkan salah satu tujuan diutusnya ribuan para nabi di muka bumi ini adalah untuk menegakkan keadilan. Dalam teologi Islam keadilan mendapat tempat yang istimewa. Dua kubu besar umat Islam Mu`tazilah dan Asya’irah pada prinsipnya sama-sama mengakui bahwa Tuhan itu adil dan bahkan Maha Adil. Tuhan mengharamkan kezaliman sekecil biji atom buat diri-Nya. Meskipun terdapat perbedaan di antara dua kubu tersebut dalam menafsirkan makna keadilan Tuhan. Lebih jauh lagi, Syiah bahkan memasukkan unsur keadilan sebagai salah satu rukun akidahnya dimana keadilan Ilahi merupakan rukun akidah kedua setelah makrifatullah (mengenal Allah). Alhasil, keadilan merupakan esensi ajaran Islam dan Al Qur’an.
Tulisan singkat ini tidak bermaksud memasuki wilayah perdebatan teologis yang melelahkan dan mungkin menjemukan tapi kami mencoba menyoroti penerapan keadilan dalam kehidupan sehari-hari, utamanya menyangkut aplikasi keadilan terhadap orang-orang yang kita benci dan kaum kerabat kita, sesuai dengan pesan dua ayat di atas.

Ayat yang pertama—bila kita hayati dan pahami dengan baik—begitu mengagumkan dan luar biasa. Sebab, ayat itu melarang kita bersikap tidak adil terhadap orang yang kita benci. Boleh jadi kita membenci seseorang atau suatu kaum karena adanya perbedaan teologis, kultur, budaya dll. Al Qur’an berpesan kepada kita jangan sampai kebencian kita terhadap suatu kelompok karena alasan apapun mendorong kita untuk mengambil keputusan/peryataan yang tidak adil, yang merugikan pihak yang berseberangan dengan kita tersebut. Ayat ini akan menjadi landasan hukum Islam yang sangat fair dan obyektif dimana kita sebagai pemeluk Islam diperintahkan untuk menjaga dan memperhatikan hak-hak saudara-saudara sesama manusia kita meskipun mereka non-Muslim. Barangkali contoh kasus yang menarik dalam hal ini adalah bagaimana Imam Ali bin Abi Thalib memperlakukan pembunuhnya, Abdurrahman Ibn Muljam secara sangat baik dan luhur. Ali memerintahkan kedua putranya, Hasan dan Husin untuk memberikan menu makanan yang sama seperti yang dinikmatinya kepada pembunuhnya dan menganjurkan mereka untuk bersikap baik terhadapnya. Ali adalah contoh/manifestasi sempurna dari ayat ke-8 surah al Maidah tersebut. Keadilan itu indah dan ia lebih indah ketika diterapkan kepada musuh-musuh keadilan, seperti Abdurrahman bin Muljam.

Ayat yang kedua bernada perintah. Artinya kita dihimbau untuk menegakkan keadilan meskipun terhadap orang-orang yang kita cintai; orang-orang yang memiliki hubungan darah dan kekeluargaan dengan kita. Penegakan keadilan terhadap orang-orang yang dekat secara gen, kultur, teologi dll dengan kita adalah perkara yang amat berat dan mungkin pahit. Ayat ini juga menunjukkan kebesaran dan kedahsyatan ajaran Islam. Islam mengatakan bahwa keadilan harus diejawantahkan dalam seluruh dimensi kehidupan: sosial, politik, pendidikan dll. Jangan sampai tali nepotisme menghalangi seseorang untuk berlaku adil. Dan untuk membuktikan bahwa Allah Swt benar-benar serius untuk mendirikan dan memperjuangkan keadilan maka Dia tidak segan-segan memutus (menganggap tidak benilai) hubungan kekerabatan pihak-pihak yang kebetulan secara genetik atau pernikahan memiliki ikatan dengan utusan-utusan Allah seperti Nabi Nuh dan Nabi Muhammad. Untuk lebih jelasnya, perhatikan ayat-ayat berikut ini:

“Allah berfirman: “Hai Nuh, sesungguhnya dia (anaknya) bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan). Sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik.” (QS. Hud: 46)

“Hai nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah (mut’ah yaitu: suatu pemberian yang diberikan kepada perempuan yang telah diceraikan menurut kesanggupan suami) dan Aku ceraikan kamu dengan cara yang baik.” (QS. Al Ahzab: 28)

“Hai isteri-isteri nabi, siapa-siapa di antaramu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan di lipat gandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. dan adalah yang demikian itu mudah bagi Allah.” (QS. Al Ahzab: 30)

Dalam buku potret sehari-hari Imam Khomaini ada hal yang menarik berkaitan dengan aspek keadilan Imam. Beliau tanpa basa-basi menyatakan bahwa bila anaknya Ahmad melakukan suatu pelanggaran serius dan mahkamah Islam menetapkan bahwa karena itu ia harus dieksekusi maka beliau sendiri yang akan melakukan eksekusi tersebut. Iya, penegakan keadilan terhadap kerabat dekat itu terasa sangat pahit, tapi di sisi lain ini menunjukkan keindahan ajaran Islam yang adil. Akhirnya, keadilan itu indah dan ia lebih indah ketika diterapkan terhadap orang-orang dekat.[Mas Alkaff]

Sumber: Islamalternatif